Garut. Antara kenangan dan Impian masa depan |
Semenjak menikah, banyak hal yang berubah termasuk pola pikir tentang pekerjaan dan masa depan. Kalau sebelumnya saya sangat menghindari dunia Perniagaan, lain halnya sekarang. Saya mulai ingin meneruskan usaha Keluarga. Menjadi Pedagang dan Petani adalah dua hal yang sempat tidak saya sukai, padahal Bapak di Garut memerlukan "tangan baru" untuk melanjutkan apa yang selama ini Beliau perjuangkan dengan susah payah.
Sempat saya menolak dengan tegas dan menyampaikan keinginan saya untuk bekerja saja di Perusahaan orang lain. Namun saat itu Bapak bilang, sebesar apapun Perusahaan tempat saya bekerja, tetap saja posisi saya adalah sebagai Karyawan, orang yang bekerja "di bawah telunjuk orang lain". Prinsip Beliau sangat simple sebetulnya, ingin "merdeka" dengan usaha sendiri sekecil apapun itu, yang penting Halal dan berkah.
Entah kapan mulainya, tapi saat ini, saya dan Suami mulai berpikir ke arah sana. Kami ingin menjadi Petani dan Pedagang.
Mudahkah Bertani dan Berdagang?
Melihat apa yang sudah diperjuangkan oleh Orangtua saya, sejauh ingatan saya, itu sangat tidak mudah. Perjuangan yang penuh keringat dan air mata, literally air mata, karena Mama saya sering menangis saat usahanya mengalami masalah demi masalah, kolega yang menipu dan menyebabkan Orangtua saya mengalami kerugian yang tidak sedikit, padahal saat itu hal yang dipegang erat adalah Trust, kepercayaan.
Saya sempat melontarkan pikiran saya ke Bapak, "Bapak terlalu baik, jadi mudah kena tipu. Kalau kayak gini terus, kita gak akan melangkah Pak, akan tetap jalan di tempat sampai kapanpun".
Namun Bapak selalu jawab dengan senyuman, seolah itu bukanlah hal besar yang perlu dikhawatirkan. Mungkin karena Laki-laki ya, pembawaannya lebih tenang, berbeda dengan Mama yang lebih perasa dan mudah kepikiran, persis saya, hehe. Bapak bilang, dari kegagalan dan masalah itu, kita bisa belajar supaya kedepannya hal itu tidak terulang. Tidak perlu mendendam, yang penting kita tahu apa yang tidak boleh dilakukan setelah ini.
Mengapa saya dan Suami ingin mengikuti jejak Orangtua?
Dari semenjak punya satu Putra, kami merasakan betapa waktu sangat cepat berjalan, tapi sebagian besar habis di jalan karena kemacetan Ibu Kota dan jarak dari rumah ke Kantor. Saya sering kangen anak saya, merasa waktu yang saya berikan sangat sedikit padahal umurnya masih kecil, masih perlu saya di sebagian besar waktu yang dilewatinya.
Saya mencintai pekerjaan saya selama ini, saya mencintai Kantor tempat saya bekerja, namun saya pun sangat mencintai Anak saya. Harus mulai ada perubahan, harus ada rencana masa depan untuk kami sekeluarga, dan walau sepertinya telat, tidak ada salahnya kami memulai.
Ikatan batin Orangtua dan Anak memang kuat, di saat yang sama Orangtua menghubungi saya, cerita bahwa lahan perkebunan dan sawah warisan dari Alm. Kakek akan di pecah. Kami ditawarkan untuk membeli sebagian milik Uwa (Kakaknya Bapak), tapi saya belum bisa jawab panjang lebar karena harus diskusikan dengan Suami terlebih dulu.
Yang saya dan Suami sadari, kami tidak mempunyai tabungan yang cukup untuk membeli lahan-lahan itu, sementara kami sangat menginginkannya karena itu bisa menjadi asset untuk kami berinvestasi. Apalagi mengingat lokasi yang strategis, dan lebih dari itu ada History Value yang kental bagi saya.
Sempat terpikir untuk gadai BPKB Mobil karena itu adalah solusi tercepat yang kami pikirkan, apalagi saat ini prosesnya sangat mudah. Tapi kami masih meminta waktu supaya dapat berpikir dan memutuskan dengan tenang, tidak tergesa-gesa.
Tidak lama dari itu, Orangtua saya kembali menghubungi seolah tahu kendala yang saya dan Suami hadapi terkait masalah finansial. Mereka bilang, lahan-lahan itu akan mereka beli terlebih dulu, jadi saya dan Suami tidak perlu pusing untuk memikirkannya. Mereka bilang apapun yang jadi milik mereka toh kedepannya akan menjadi milik Anak-Anak, jadi tidak ada ruginya untuk menghabiskan semua tabungan yang mereka punya saat ini, anggap saja Bapak dan Mama yang berinvestasi, kedepannya biar Anak-Anak yang menuai hasilnya.
Saya menangis dalam diam.
Kebun Jeruk dan Kenangan Masa Kecil
Yang membuat saya dan Suami sangat ingin menjadi Petani di Masa Tua adalah karena kami ingin di masa yang sudah tidak lagi sekuat sekarang, kami bisa menikmati ketenangan di tempat yang tidak sebesar Ibukota. Walau notabene Keluarga Suami di Jakarta, tapi rasanya akan menyenangkan bagi kami hidup di Kota sekecil Kota Garut, tempat kelahiran saya.
Suami di Kebun Jeruk Bapak |
Bertani juga bisa menjadi "terapi jiwa" di masa senja, disaat saat ini kami terlalu sibuk berjibaku dengan tempat dan pekerjaan yang super hectic. Terlebih Suami adalah Sarjana Pertanian lulusan IPB, saya rasa semua materi yang dia dapatkan di bangku perkuliahan dapat bersinergi dengan pengalaman Bapak selama ini di lapangan. Teori dan praktek merupakan dinamic duo, bukan?
Saya juga ingin anak cucu saya tidak kehilangan masa kecil mereka dan tidak menikmati apa yang saya dan adik saya nikmati di masa kecil kami. Momen kebersamaan saat panen jeruk, panen tomat, padi, dan lainnya. Makan di pinggir sawah yang biasa disebut "botram", jerit-jerit ketakutan saat melihat ada ulat bulu di daun jeruk, kedingingan oleh desiran angin kencang disana, dan pulang bahagia dengan sekian keresek berisikan hasil panen kami.
Alfath anak pertama saya sudah beberapa kali kami ajak ke Kebun jeruk milik Kakeknya, saat itu kebetulan sedang berbuah dan siap dipanen, sepertinya kami harus melakukan itu lebih sering lagi dan sekarang sudah ada anak kedua, pasti lebih seru. Sekalian memantau kondisi sawah dan kebun karena Bapak sudah meminta saya dan Suami mulai melakukan itu, Bapak bilang di usianya sekarang sudah terlalu capek untuk bolak balik berkebun, belakangan sudah jarang kesana dan hanya meminta update info dari orang yang dipercayakan untuk mengelola. Bapak merasa, sudah saatnya kami "bergerak" pelan-pelan.
Alasan lainnya untuk terus menghidupkan perniagaan dan bertani di Keluarga kami juga karena hal itu bisa dijadikan sebagai warisan turun temurun nantinya. Siapa tahu anak-anak kami malah tidak berniat bekerja, namun malah ingin menjadi Wiraswasta seperti Kakek Neneknya kan ya, tentu kami akan sangat mendukung apapun itu yang baik bagi mereka.
Sementara itu, saya dan Suami tetap semangat mengumpulkan pundi-pundi yang akan kami jadikan modal supaya harapan kami tentang masa tua dapat terwujud. Amiiin.